Diiringi gondang Batak, puluhan orang manortor di depan Gedung DPRD
Sumut, Jalan Imam Bonjol, Medan, Senin (26/1). Kekayaan etnik itu
ditampilkan saat mereka berunjuk rasa menuntut pelestarian Danau Toba.
Pengunjuk
rasa mengatasnamakan Jalin d-Toba ini juga membakar kemenyan. Aksi
mereka gelar dengan tuntutan utama mendesak penutupan
perusahaan-perusahaan yang dinilai telah merusak Danau Toba.
Jalin
d-Toba yang merupakan gabungan dari sejumlah kelompok masyarakat ini
menuntut peninjauan ulang penerbitan izin-izin dan konsesi perusahaan di
kawasan Danau Toba. Dalam aksinya, pengunjuk rasa mengenakan kaus putih
bertuliskan "Tano Batak terluka, Jokowi lihatlah!" Tulisan serupa juga
mereka tuangkan dalam poster yang dibawa.
Dalam press rilis yang dibagikan kepada wartawan, Jalin d-Toba menyebut sejumlah perusahaan besar yang berkontribusi menimbulkan kerusakan di Danau Toba, yaitu PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang sudah berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL), perusahaan bubur kertas di Sosor Ladang, Porsea, Toba Samosir; PT Allegrindo Nusantara, peternakan babi di Urung Pane, Purba, Simalungun; Simalem Resort (PT MIL); dan PT Gorga Duma Sari (GDS), perusahaan perkebunan hortikultura di kawasan hutan Tele; termasuk pula PT Inalum yang dinilai bertanggung jawab terhadap turunnya permukaan air Danau Toba.
Kenyataannya, paradigma baru yang dimaksud tidak terbukti. Perusakan lingkungan masih marak terjadi, perampasan tanah/hutan adat masih berlangsung, perusakan infrastruktur jalan akibat truk-truk logging yang mengangkut muatan melebihi tonase, pencemaran air dan udara akibat pembuangan limbah pabrik.
Para pengunjuk rasa juga menuntut agar pemerintah menghormati, mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat lokal serta masyarakat adat dalam menyikapi kehadiran berbagai perusahaan di kawasan Danau Toba. Penegak hukum pun diminta menindak tegas pembalakan hutan dan truk-truk pengangkut kayu yang ditengarai telah merusak jalan di sekitar kawasan Danau Toba.
"Sangat miris jalan itu dirusak, karena jalan iru dibangun Belanda pada 200 tahun lalu. Indonesia tidak pernah membuka jalan di sana," sebut Sebastian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar