Kemudian mereka pun dieksekusi dengan cara ditusuk dengan sangkur/bayonet
Tak
dapat dipungkiri, musuh utama PKI adalah umat Islam, terutama para
kiainya. Kiai dianggap sebagai musuh karena memiliki ribuan pengikut
(jamaah) yang setia.
Salah
satu unsur umat Islam yang juga paling dibenci PKI adalah Masyumi. Hal
ini diungkapkan oleh KH Roqib, salah seorang korban kebiadaban PKI
Madiun 1948 yang masih hidup. Kini KH Roqib adalah imam besar Masjid
Jami’ Baitussalam Magetan.
Sebagai
salah seorang kiai yang juga tokoh Masyumi, Roqib pun menjadi sasaran
yang harus dilenyapkan. Dia diculik PKI sekitar pukul 03.00 dini hari
pada tanggal 18 September 1948, tak lama setelah PKI merebut kota
Madiun. Sebanyak 12 orang anggota PKI berpakaian hitam dengan ikat
kepala merah menciduk Roqib di rumah kediamannya di kampung Kauman,
Magetan. Dini hari itu juga dia dibawa ke Desa Waringin Agung dan
disekap di sebuah rumah warga.
Di
sebuah dusun bernama Dadapan yang termasuk dalam wilayah Desa Bangsri
Roqib diseret oleh beberapa orang ke sebuah lubang di tengah ladang.
Ketika akan disembelih di depan lubang, tiba-tiba Roqib mengingat
pelajaran pencak silat yang diperolehnya. Seketika itu dia
menghentakkan kakinya dan meloncat lari ke kebun singkong.
Satu per satu mereka dibunuh oleh algojo dari tentara keamanan rakyat (TKR)
Begitu
lolos, Roqib bersembunyi di antara rerimbunan semak belukar hingga
siang hari. Naas, siang itu pula dia ditemukan kembali oleh anggota PKI
yang mengejarnya. Roqib pun tertangkap dan diikat lagi, lalu disiksa
sepanjang jalan dari Desa Bangsri hingga pabrik gula Gorang-Gareng.
Di
pabrik gula Gorang-Gareng, Roqib disekap dalam sebuah loji (rumah-rumah
besar untuk asrama karyawan). Di dalam loji terdapat banyak kamar
dengan berbagai ukuran. “Ketika saya datang ke loji itu, kamar-kamarnya
sudah penuh dengan tawanan. Satu kamar ukuran 3 x 4 meter diisi kurang
lebih 40-45 orang. Bersama 17 orang lainnya, saya dimasukkan ke dalam
salah satu kamar yang terdapat di ujung loji,” tutur Roqib.
PKI
kemudian menembaki loji tempat Roqib dan tawanan lainnya disekap lebih
dari satu jam lamanya. Tubuh-tubuh yang terkena peluru langsung
terkapar di lantai bersimbah darah. Para algojo PKI tidak memedulikan
teriakan histeris para korban yang terkena peluru. Mereka terus saja
melakukan tembakan. Di antara belasan orang yang ada di dalam loji,
hanya Roqib dan Salis, serta seorang tentara bernama Kafrawi, yang
selamat.
Menurut
guru ngaji ini, setiap habis menembak, pistol yang digunakan PKI itu
tidak bisa menembak lagi, tapi harus dikokang dulu. “Saya bisa selamat
dari tembakan karena memperhitungkan jeda waktu antara tiap tembakan
sambil bersembunyi di bawah jendela. Kalau tanpa pertolongan Allah,
tidak mungkin saya selamat,” kata Roqib getir.
Beberapa
saat kemudian tentara Siliwangi datang menjebol pintu loji dengan
linggis. Suasana sudah mulai sepi karena PKI telah melarikan diri,
takut akan kedatangan pasukan Siliwangi. “Ruangan tempat saya disekap
itu benar-benar banjir darah. Ketika roboh dijebol dan jatuh ke lantai,
pintu itu mengapung di atas genangan darah. Padahal, ketebalannya
sekitar 4 cm. Darah yang membanjiri ruangan mencapai mata kaki,” ungkap
Rokib.
Selain
KH Roqib, terdapat beberapa ulama dan pimpinan pesantren di sekitar
Magetan dan Madiun yang jadi korban kebiadaban PKI. Di antaranya adalah
KH Soelaiman Zuhdi Affandi (Pimpinan Pesantren Ath-Thohirin,
Mojopurno), KH Imam Mursjid (Pimpinan Pesantren Sabilil Muttaqin,
Takeran), KH Imam Shofwan (Pimpinan Pesantren Thoriqussu’ada, Rejosari
Madiun), serta beberapa kiai lainnya.
Pesantren
Ath-Thohirin yang diasuh oleh KH Soelaiman Zuhdi Affandi terletak di
Desa Selopuro, Magetan. Pesantren yang mengajarkan ilmu thariqat ini
sejak zaman penjahan Belanda maupun Jepang telah menjadi pusat gerakan
perlawanan. Di pesantren inilah para generasi muda disiapkan dan
dilatih perang oleh Soelaiman. Soelaiman gugur menjadi korban keganasan
PKI pada pemberontakan tahun 1948, mayatnya ditemukan di sumur tua Desa
Soco.
Menurut
R Bustomi Jauhari, cucu KH Soelaiman Zuhdi Affandi yang kini menjadi
pimpinan Pesantren Ath-Thohirin, KH Soelaiman tertangkap pada waktu itu
karena santrinya sendiri yang menjadi mata-mata PKI. Kemana pun sang
kiai pergi, PKI pasti tahu. “Keluarga besar kami sangat berduka atas
kematian kakek. Dari seluruh keluarga kami ada sebelas orang yang
dibunuh PKI. Dan kebanyakan mereka adalah kiai,” ujar Bustomi.
Penangkapan
KH Soelaiman Affandi terjadi dua hari setelah PKI mengkudeta
pemerintahan yang sah, tepatnya pada tanggal 20 September 1948. Ketika
itu Soelaiman sedang bertandang ke Desa Kebonagung kemudian diculik.
Setelah
ditahan di penjara Magetan selama empat hari, KH Soelaiman beserta
tawanan lainnnya, diangkut dengan gerbong kereta lori ke loji Pabrik
Gula Rejosari di Gorang-Gareng. Dari Gorang-Gareng, para tawanan ini
kembali diangkut dengan lori menuju Desa Soco dan dihabisi di sana.
Salah
seorang menantu KH Soelaiman Affandi bernama Surono yang juga dibawa
lori ke Desa Soco termasuk orang yang mengetahui bagaimana kejamnya PKI
dalam menyiksa dan membunuh Kiai Soelaiman di sumur tua Desa Soco.
Menurut
Surono, sebagaimana dituturkan Bustomi, PKI berulang kali menembak Kiai
Soelaiman, namun tidak mempan. Begitu pula ketika dibacok pedang, Kiai
Soelaiman hanya diam saja, lecet pun tidak. Setelah putus asa, algojo
PKI akhirnya membawa Soelaiman ke bibir sumur lalu menendang
punggungnya dari belakang. Tubuh Soelaiman yang tinggi besar itu
terjerembab di atas lubang sumur yang tidak seberapa lebar.
Anggota
PKI kemudian memasukkan tubuh Kiai Soelaiman secara paksa ke dalam
sumur. Begitu menimpa dasar sumur, Kiai Soelaiman berteriak lantang
menyebut asma Allah, laa ilaaha illallah, kafir laknatullah, secara
berulang-ulang dengan nada keras. “Teriakan itu membuat PKI kian kalap
dan melempari Soelaiman dengan batu,” tutur Surono.
Surono
yang akan dibunuh namun ditunda terus karena dianggap paling muda,
akhirnya tercecer di barisan belakang. Setelah kelelahan mengeksekusi
puluhan orang dalam sumur tua itu, algojo PKI menyerahkan Surono kepada
salah seorang anggota PKI yang lain.
Tak
dinyana, ternyata anggota PKI yang akan membunuh Surono itu adalah
temannya semasa sekolah dulu. Oleh temannya, Surono dibawa ke tempat
gelap lalu dilepaskan. Setelah bebas, Surono kembali ke Mojopurno dan
melaporkan kejadian yang dia alami kepada keluarga besar KH Soelaiman
Affandi.
Salah
seorang ulama yang juga pimpinan pesantren yang menjadi musuh utama PKI
pada waktu itu adalah KH Imam Mursjid, pimpinan Pesantren Sabilil
Muttaqin (PSM) Takeran, Magetan. Sebagai pesantren yang berwibawa di
kawasan Magetan, tak heran jika PKI, segera mengincar dan menculik
pimpinannya bersamaan dengan dideklarasikannya Republik Soviet
Indonesia di Madiun.
Selain
sebagai pimpinan pesantren, KH Imam Mursjid juga dikenal sebagai imam
Thariqah Syatariyah. Selain itu PSM juga menggembleng para santri
dengan latihan kanuragan dan spiritual.
Pada
18 September 1948, tepatnya seusai shalat Jumat, KH Imam Mursjid
didatangi tokoh-tokoh PKI. Salah seorang tokoh PKI bernama Suhud
mengajak Kiai Mursjid keluar dari mushola kecil di sisi rumah seorang
warga pesantren bernama Kamil. Rencananya Imam Mursjid akan diajak
bermusyawarah mengenai Republik Soviet Indonesia. Kepergian KH Imam
Mursjid bersama orang-orang PKI itu tentu saja merisaukan warga
pesantren. Menurut mereka, Kiai Mursjid tidak akan menurut begitu saja
diajak berunding oleh PKI.
Di
depan pendapa pesantren, KH Imam Mursjid dinaikkan ke atas mobil, yang
kemudian melaju meninggalkan PSM diiringi kecemasan para santri dan
warga lainnya. Kepergian KH Mursjid yang begitu mudah itu bukannya
tanpa alasan. PSM telah dikepung oleh ratusan tentara PKI. Bisa jadi
Kiai Mursjid tidak mau mengorbankan santrinya dan warga pesantren
sehingga memilih mau ‘berunding’ dengan PKI.
Ternyata,
kepergian Kiai Mursjid itu adalah untuk selama-lamanya, ia tidak pernah
kembali lagi ke pesantrennya. Begitu terjadi pembongkaran lubang-lubang
pembantaian PKI di sumur Desa Soco maupun di beberapa tempat lainnya,
mayat Kiai Mursjid tidak ditemukan.
Dari
daftar korban yang dibuat PKI sendiri pun, nama Kiai Mursjid tidak
tercantum sebagai korban yang telah dibunuh. Tak heran, jika santri dan
warga PSM masih percaya bahwa KH Imam Mursjid masih hidup hingga saat
ini, namun entah berada dimana.
Ulama
atau pimpinan pesantren lain yang menjadi korban keganasan PKI di
Madiun adalah KH Imam Shofwan, pimpinan Pondok Pesantren
Thoriqussu’ada, Desa Selopuro, Kecamatan Kebonsari. Salah seorang putra
KH Imam Shofwan bernama KH Muthi’ Shofwan yang kini mengasuh Pesantren
Thoriqussu’ada mengungkapkan, ayahnya ditangkap PKI bersama dengan dua
orang kakaknya, yakni KH Zubeir dan KH Bawani.
Penangkapan
itu terjadi sehari setelah kepulangan Muthi’ Shofwan dari rumah kosnya
di Madiun. Sebagai murid salah satu SMP di Madiun, Muthi’ tiap minggu
pulang ke Selopuro, biasanya tiap hari Kamis malam Jumat. “Ketika tiba
di rumah pada waktu itu, ayah saya (KH Imam Shofwan) beserta dua kakak
saya telah ditangkap oleh PKI. Ibu saya bilang bahwa ayahmu pergi
dibawa orang naik dokar,” tutur KH Muthi’ mengingat kejadian itu.
Beberapa
hari kemudian dia mendengar berita bahwa ayah dan dua kakaknya itu
ditahan di Desa Cigrok (sekarang Kenongo Mulyo). “Mas Zubeir dan
rombongannya sekitar delapanbelas orang, pada malam Jumat itu, telah
dibunuh oleh PKI dan dimasukkan ke dalam sebuah sumur. Karena Mas
Zubeir agak sulit dibunuh, maka PKI dengan paksa menceburkannya ke
dalam sumur dan menimbunnya dengan batu,” kata Muthi’.
Pada
malam yang sama, ayahnya dan Kiai Bawani serta beberapa tawanan lainnya
dibawa ke Takeran. Esoknya, para tawanan ini dipindah lagi ke Pabrik
Gula Gorang-Gareng lalu dibawa kembali ke Desa Cigrok. Di sebuah sumur
tua yang tidak terpakai lagi, KH Imam Shofwan yang merupakan saudara
kandung KH Soelaiman Affandi (pengasuh Pesantren Ath-Thohirin,
Mojopurno, Magetan) dan Kiai Bawani dibunuh dan dimasukkan ke dalamnya.
Rupanya,
ketika dimasukkan ke dalam sumur, KH Imam Shofwan dan Kiai Bawani masih
hidup. KH Shofwan bahkan sempat mengumandangkan adzan yang diikuti oleh
puteranya. Melihat korbannya masih belum mati di dalam sumur,
algojo-algojo PKI tidak peduli. Mereka melempari korban dengan batu
lantas menimbunnya dengan jerami dan tanah.
Pada
tahun 1963 jenazah para korban kebiadaban PKI yang terkubur di sumur
tua Desa Cigrok digali, lalu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan
Magetan. Jadi sejak tahun 1948 hingga 1963, jenazah para korban PKI
masih tertimbun dalam sumur itu.
Menurut
KH Muthi’ Shofwan, menghabisi ulama dan umat Islam memang keinginan
kuat PKI, karena ulama dianggap sebagai penghalang berkembangnya
ideologi mereka. “Komunis sangat anti pada Islam, oleh karena itu
jangan dibiarkan bangkit lagi!” tegasnya
*)Catatan berdasarkan kesaksian keluarkan dan Korban Pemberontakan PKI Madiun 48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar